Masa
pemerintahan kabinet Syahrir
program kerja kabinet Syahrir juga memprioritaskan penanganan konflik
dengan Belanda. Kabinet Syahrir berkuasa selama 3 kali, yaitu masa kabinet
Syahrir 1, Kabinet Syahrir II, dan Kabinet Syahrir III. Belanda pada 7 desember
1942 yang terkait dengan perundingan antara Indonesia – Belanda , Ratu Belanda
berpidato dan mengumumkan hal-hal berikut :
1.
Indonesia menjadi Negara federasi dan bergabung dalam Negara persemakmuran di
dalam lingkungan kerajaan Belanda.
2.
Masalah dalam negri Indonesia akan di urus secara mandiri oleh Indonesia.
3.
Sebelum sistem persemakmuran ini di bentuk, akan di bentuk dahulu sebuah
pemerintahan peralihan yang menjabat selama 10 tahun.
Pernyataan Indonesia dari Ratu Belanda itu merupakan jawaban dari Maklumat
Politik Pemerintah pada 1 November 1945. Maklumat Politik itu berisi
pernyataan bahwa pemerintah Indonesia menuntut pengakuan atas keseluruhan
Negara dan pemerintahan Republik Indonesia Serikat dan juga dari pihak Belanda
yang telah di buat Sebelum pecahnya Perang Dunia II. Selain itu maklumat itu
juga menuntut pengembalian seluruh hak milik asing atau hak yang telah di
kuasai oleh pemerintah Indonesia. Ada pihak yang tidak setuju dengan kebijakan
Syahrir, sehingga Syahrir pun mengundurkan diri. Namun, Presiden Soekarno
menunjuk Sutan Syahrir untuk kembali menduduki perdana menteri dan memimpin
cabinet Syahrir II.
Pada masa cabinet Syahrir II yang di bentuk pada 2 oktober 1946, strategi
diplomasi di wujudkan melalui pelaksanaan perundingan linggarjati pada 10
November 1946. Hasil perundingan itu di pandang tidak optimal dan di tolak oleh
tokoh-tokoh dan kelompok politik lainnya. Kelompok-kelompok yang menolak keputusan
perundingan linggarjati sebagai hasil strategi diplomasi, kabinet Syahrir
tergabung dalam Benteng Republik Indonesia . Di sisi lain, terdapat pula
kelompok yang mendukung keputusan perundingan Linggarjati , antara lain
Pesindo, BTI, PKI, Laskar Rakyat, Partai Buruh, Parkindo, dan Partai Katolik.
Dari kedua kelompok itu terdapat sebuah perbedaan pola strategi dalam menangani
konflik dengan Belanda Perbedaan strategi itu berlanjut pada munculnya
konflik-konflik antar kelompok politik pada era awal kemerdekaan.
Adapun susunan Kabinet Syahrir
I adalah sebagai berikut:
No.
|
Bidang
Meteri
|
Nama
Menteri
|
1.
|
Menteri Dalam Negeri
|
Sutan Syahrir
|
2.
|
Menteri
Keamanan Rakyat
|
Amir
Sjarifuddin
|
3.
|
Menteri
Kehakiman
|
Soewandi
|
4.
|
Menteri
Kemakmur
|
Darmawan Mangoenkoesoemo
|
5.
|
Menteri
Kesehatan
|
Darma
Setiawan
|
6.
|
Menteri
Keuangan
|
Soenarjo
|
7.
|
Menteri
Luar Negeri
|
Sutan
Syahrir
|
8.
|
Menteri
Muda Keamanan Rakyat
|
S.
Josodiningrat
|
9.
|
Menteri
Negara
|
Rasjidi
|
10.
|
Menteri
Pekerjaan Umum
|
Putuhena
|
11.
|
Menteri
Penerangan
|
Amir
Sjarifuddin
|
12.
|
Menteri
Pengajaran
|
T.S.G.
Mulia
|
13.
|
Menteri
Perhubungan
|
Abdulkarim
|
14.
|
Menteri
Sosial
|
Adji Darmo
Tjokronegoro
|
15.
|
Wakil
Menteri Dalam Negeri
|
Harmani
|
16.
|
Wakil
Menteri Keamanan Rakyat
|
Abdul
Moerad[1]
|
Masa Kabinet
Amir Syarifuddin
Kabinet Amir
Syarifudin merupakan penerus dari cabinet Syahrir . Strategi diplomasi yang
paling menonjol pada masa cabinet Amir Syarifudin adalah dilaksanakannya
perundingan Renvile pada 17 Januari 1948.
Konflik
antar kelompok politik di dalam cabinet Amir Syarifudin juga terjadi seperti
masa cabinet Syahrir . Konflik ini tidak berupa konflik fisik, tetapi berupa
perbedaan strategi dalam menghadapi Belanda . Misalnya, pada saat pergantian
cabinet. Amir Syarifudin bermaksud memperkuat posisi kabinetnya terhadap
Belanda , sehingga ia menyepakati hasil perundingan Renvile. Dalam rapat Dewan
partai pada 18 Januari 1948 . PNI memutuskan untuk menolak hasil dari
perundingan Renvile karena hasil persetujuan tersebut tidak memberikan posisi
jaminan yang tegas terhadap posisi Republik Indonesia. Perbedaan strategi antar
kelompok politik di dalam cabinet Amir Syarifudin ini berakhir dengan
penyerahan mandat kembali kepada Presiden Soekarno pada 23 Januari 1948.
Amir kemudian membentuk kabinet sesuai kemampuan, susunannya sebagai
berikut :
Menteri
Agama
: K. Achmad Asj’ari
Menteri Dalam Negeri
: Wondoamisono
Menteri Kehakiman
: Susanto Tirtoprodjo
Menteri Kemakmuran
: A.K. Gani
Menteri Kesehatan
: J. Leimena
Menteri Keuangan
: A.A. Maramis
Menteri Luar Negeri
: Agus Salim
Menteri Muda Dalam Negeri
:
Abdul Madjid Djojohadiningrat
Menteri Muda Kemakmuran I
: I.J.
Kasimo
Menteri Muda Kemakmuran II :
Adji Darmo Tjokronegoro
Menteri Muda Kesehatan
:
Satrio
Menteri Muda Keuangan
:
Ong Eng Die
Menteri Muda Luar Negeri
:
Tamsil
Menteri Muda Pekerjaan Umum:
Laoh
Menteri Muda Penerangan
:
Sjahbudin Latif
Menteri Muda Perburuhan
:
Wilopo
Menteri Muda Pertahanan
:
Arudji Kartawinata
Menteri Muda Sosial
: Sukoso Wirjosaputro
Menteri Negara
: Sri Sultan
Hamengkubuwono IX
Menteri Negara
: Suja’as
Menteri Negara
: Wikana
Menteri Negara
: Hindromartono
Menteri Negara
: Siauw Giok Tjhan
Menteri Negara
: Maruto Darusman
Menteri Pekerjaan Umum
:
Moch. Enoch
Menteri Penerangan
: Setiadi Reksoprodjo
Menteri Pengajaran
: Ali Sastroamidjojo
Menteri Perburuhan
: S.K. Trimurti
Menteri Perhubungan
: Djuanda Kartawidjaja
Menteri Pertahanan
: Amir Sjarifuddin
Menteri Sosial
: Suprodjo[1]
Masa Kabinet
Mohammad Hatta
Wakil
Presiden Moh. Hatta di tunjuk oleh presiden Soekarno untuk membentuk cabinet
baru, menggantikan cabinet Amir Syarifudin . Bentuk cabinet yang di susun oleh
Hatta adalah cabinet koalisi yang menyerahkan seluruh kelompok politik yang ada
di Indonesia pada waktu itu. Kabinet ini di dukung sepenuhnya oleh partai
Masyumi, PNI, Partai Katolik dan Parkindo. Soepono yang menjabat sebagai
Menteri Pembangunan dan Pemuda. Kelompok tersebut adalah PKI, yang pada
akhirnya melakukan pemberontakan di Madiun pada bulan September 1948. Strategi
yang mencolok dari cabinet Hatta dalam menghadapi Belanda adalah pelaksanaan
persetujuan Renvile dan mempercepat proses terbentuknya Negara Indonesia
Serikat (NIS). Perwujudannya adalah dengan mengutus Mr. Moh. Roem sebagai ketua
delegrasi RI untuk melaksanakan perundingan-perundingan diplomasi dengan pihak
Belanda yang di wakili oleh Van Mook.
Konferensi
Roem-Royen pada 7 mei 1949 merupakan hasil dari strategi diplomasi Moh. Roem di
dunia Internasional. Strategi diplomasi tersebut berujung pada pelaksanaan
Konferensi Meja Bundar yang menjadi momentum penyerahan kedaulatan wilayah
Indonesia dari Belanda ke Indonesia. Strategi diplomasi cabinet Hatta mencapai
puncaknya pada 4 agustus 1949 dengan diangkatnya delegasi Republik Indonesia
untuk berangkat ke Den Haag dalam rangka menggelar Konferensi Meja Bundar
(KMB). Konferensi ini berlangsung pada 28 agustus 1949 hingga 2 November
1949 . Strategi diplomasi yang di terapkan oleh cabinet Hatta telah berhasil
menempatkan Indonesia dalam kondisi perdamaian tanpa ada gangguan pihak
Belanda. Meskipun tidak semua kelompok politik setuju pada hasil KMB, Strategi
cabinet Hatta telah berhasil menempatkan Indonesia sebagai Negara yang
berdaulat di dalam konstelasi dunia Internasional.
Hatta Adapun
susunan kabinet yang digalang Hatta adalah sebagai berikut :
Menteri Agama
: Masjkur
Menteri Dalam Negeri
: Sukiman
Menteri Kehakiman
: Susanto Tirtoprodjo
Menteri Kemakmuran
: Syafrudin
Prawiranegara
Menteri Kesehatan
: J. Leimena
Menteri Keuangan
: A.A. Maramis
Menteri Luar Negeri
: Agus Salim
Menteri Negara
: Sri Sultan
Hamengkubuwono IX
Menteri Pekerjaan Umum
: Djuanda Kartawidjaja
Menteri Pembangunan/Pemuda
:
Supeno
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan :
Ali Sastroamidjojo
Menteri Penerangan
: Mohammad Natsir
Menteri Perburuhan/Sosial
: Kusnan
Menteri Perhubungan
: Djuanda Kartawidjaja
Menteri Persediaan Makanan Rakyat :
I.J. Kasimo
Menteri Pertahanan
: Mohammad Hatta[4]
No comments:
Post a Comment